Wednesday, February 27, 2008

So Much Idea

Aku hanya bisa diam memandangani layar monitor dan tangan di atas keybord, namun tidak menuliskan apapun. Terdiam, seolah sedang memikirkan sesuatu. Namun, jika anda bertanya kepada saya sedang apa saya dan apa yang saya pikirkan? Maka saya akan menjawab dengan diam saja. Anda tahu mengapa? Saya terlalu bingung dengan banyaknya ide. Hahaha… saya pasti sedang gila ketika saya menuliskan ini.

Saya benar-benar tidak tahu harus menumpahkan yang mana dan bagaimana. Sehingga akhirnya saya hanya menuliskan ini. Menguraikan bahwa saya sedang kesulitan dengan apa yang saya pikirkan. Hahaha… saya memandang diri saya sedang lesu tak bersemangat, duduk di depan komputer dan hanya diam saja. Wajah saya begitu memilukan seolah saya sedang tertimpa sebuah bencana yang sangat besar. Hingga akhirnya saya membaca ini dan… saya tersenyum… :)

Ah… sudahlah… gitu aja kok repot.

Would You Be My Partner?

Pernahkah anda bekerjasama dengan seorang partner yang hampir selalu kontra dengan anda pribadi? Pernahkah anda bekerjasama dengan seorang partner yang selalu tidak setuju dengan pendapat anda? Bisa jadi iya, bisa jadi juga tidak. Hehe…

Dalam beberapa program pengembangan soft skill mahasiswa, diantaranya PKM, ada satu kriteria penting yang menjadi syarat sehingga jika satu syarat ini tidak dipenuhi maka anda bisa dipastikan akan gagal mendapatkan sesuatu dari program pengembangan tersebut. Apa yang begitu penting sehingga walaupun karya yang anda buat sangat luar biasa bagus sekali akan gagal dengan kekurangan hal itu? Satu jawaban yang sangat pendek “Kerjasama Team”.

Alkisah, seorang mahasiswa berprestasi di kampusnya mengikuti sebuah program kreativitas di tingkat Kopertis. Dengan kemampuan IQ-nya, si mahasiswa membuat sebuah karya yang, katakanlah, luar biasa inovatif dan sangat masuk akal sekali. Sehingga, kalau saja dinilai mungkin akan mendapatkan nilai 10. Hemmmmm… luar biasa bukan? Setelah tiba di Kopertis, ternyata si mahasiswa ini tidak jadi memenangkan program tersebut. Hayah…??? Anda tahu mengapa? Ya, hanya gara2 si mahasiswa ini menyusun laporan tersebut tidak bersama beberapa temannya. Yang artinya, ia mengerjakan karya tersebut secara personal. Hmmm…

Ya, itu tadi kisah yang saya dengar secara sekilas. Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Tetapi, saya tidak mementingkan apakah cerita itu benar atau tidak. Saya akan mengatakan bahwa bekerjasama dalam team atau bekerja bersama partner adalah sesuatu yang saat ini sangat diperlukan dalam dunia apapun. Dalam setiap lowongan yang saya lihat di papan pengumuman di kampus saya, saya melihat hampir semua syarat yang harus dipenuhi oleh si calon pelamar adalah “Bisa bekerjasama dalam team”. Sedangkan syarat2 lainnya, ya begitu2 saja. Tamat S1/sedang menempuh tugas akhir, IPK minimal 2,75 dan lain sebagainya.

Bekerjasama dalam team memang bukan hal yang mudah dilakukan. Terbukti, saya pribadi pun masih pontang-panting untuk diajak bekerjasama dalam team. Saya merasakan sendiri, bagaimana menjadi anggota dari sebuah team bukanlah sesuatu yang mudah. Ya, memang kalau hanya sebagai anggota team itu sesuatu yang gampang, hal tersulit adalah bagaimana menjadi bagian dari sebuah team. Menjaid bagian team itu memang sulit dengan berbagai sebab yang hampir kesemuanya memang di luar kendali kita. Salah satu faktor kesulitannya adalah bahwa masing2 orang dalam team adalah orang2 yang sangat berbeda. Artinya, setiap orang dalam team memiliki karateristik sendiri2 dan memiliki keinginan yang berbeda.

Lebih sulit lagi, jika anda harus dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa anda harus menjadi pengelola sebuah team, atau bisa dikatakan anda harus menjadi leader dari team tersebut. Dalam sebuah pepatah dikatakan “Getting Good Players is Easy. But, Getting Them to Play Together is a Hard Way”. Saya menyadari itu dan merasakan sendiri. Itulah mengapa, ketika ada pemilihan ketua atau leader dari sebuah team, maka selalu ada pihak2 yang bilang ‘Anda saja! Anda saja!”. Semakin pinter orang2 dalam sebuah team, maka akan semakin sulit mengelola team tersebut. Apalagi, jika partner2 dalam team anda adalah orang2 yang kontra dengan anda. Hahaha… saya sedang kesulitan. :-S

Tuesday, February 26, 2008

Mengawal Pertiwi dengan Senjata Tua - Editorial Media Indonesia

MASALAH pertahanan negara menjadi perkara yang semakin merisaukan. Tidak semata oleh kalangan militer, tetapi oleh masyarakat luas. Kerisauan utama dan terutama adalah pada kondisi persenjataan yang uzur. Ibu Pertiwi kian tidak aman bermodalkan senjata-senjata yang lebih pantas menjadi barang rongsokan.

Fakta berikut memperkuat kerisauan. Sekitar 70% alat utama sistem persenjataan tidak bisa beroperasi karena usia tua. Itu adalah tingkat kesiagaan yang buruk, bahkan kritis bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17 ribu pulau dan luas mendekati 2 juta kilometer persegi (1.919.000 km2).

Belanja pertahanan Indonesia, memang, terkenal buruk. Tidak cuma sekarang di saat krisis keuangan masih menerpa, tetapi juga di era Orde Baru ketika minyak masih menjadi primadona. Alokasi APBN untuk pertahanan tidak pernah melampaui 1%.

Sekarang, ketika sistem persenjataan negara telah begitu buruknya, APBN 2008 untuk sektor pertahanan adalah Rp36 triliun, atau setara dengan 0,7% APBN. Angka yang sudah sangat rendah itu terancam menciut lagi karena Departemen Keuangan berniat memotong belanja Departemen Pertahanan 2008 sebesar 15% karena krisis anggaran.

Bila saat ini banyak yang berteriak tentang kerapuhan sistem persenjataan TNI, teriakan itu tidak disebabkan pikiran tentang ancaman perang dari mana pun. Dalam situasi damai pun sistem persenjataan seperti itu adalah bunuh diri. Apalagi kalau berbicara tentang situasi perang. Andai kata saat ini ada satu negara tetangga yang mengumumkan perang dengan Indonesia, tidak ada jaminan kita keluar sebagai pemenang.

Sesungguhnya kita telah kehilangan kedaulatan di laut karena tidak ada lagi kapal-kapal patroli TNI Angkatan Laut yang mampu menjaga wilayah ini dari pencurian ikan oleh nelayan asing dan penyelundupan. Ikan, kayu, dan pasir timah yang dicuri setiap tahun melampaui angka Rp100 triliun. Kapal perang TNI kalah cepat dari kapal ikan milik nelayan milik Thailand, Taiwan, dan Filipina.

read more on MIOL

Sunday, February 24, 2008

Pikiran Represif - Editorial Media Indonesia 24022008

SEBUAH studi tentang beberapa rancangan undang-undang menyimpulkan tendensi otoriter hidup kembali. Ia menyusup melalui pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan informasi, dan kebebasan pers.

Studi itu dilakukan terhadap enam rancangan undang-undang (RUU). Yaitu RUU Pers, RUU KUHP, RUU Kerahasiaan Negara, RUU Pornografi, RUU Intelijen Negara, dan RUU Kebahasaan.

Hasil studi itu akan semakin kuat jika peneliti juga mengkaji RUU Pemilu yang sedang digarap DPR. Dalam RUU Pemilu itu ada larangan untuk mengumumkan hasil penghitungan cepat (quick count) pada hari pencoblosan. Melanggarnya merupakan tindak pidana pemilu.

Maka penyelenggara quick count yang mengumumkan hasilnya dengan cepat dan pers yang menyiarkannya pada hari pemilu bisa masuk penjara. Jika Pasal 247 RUU Pemilu itu disahkan, kelak penjara Indonesia akan bertambah penghuninya dengan para cendekiawan riset serta pemimpin redaksi media massa.

Pikiran ingin kembali ke zaman represif memang tampak dalam semua RUU itu. Sangatlah kuat nafsu untuk kembali ke zaman Orde Baru.

Contoh, dalam RUU Pers yang sekarang disimpan di laci Menteri Komunikasi dan Informatika, terdapat pasal yang akan mengembalikan posisi dan kekuasaan Departemen Penerangan.

Caranya ialah mengatur pers dengan lebih detail melalui peraturan pemerintah. Misalnya, ketentuan tata cara hak jawab dan hak koreksi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (Pasal 5 ayat 4).

RUU Pers itu bahkan eksplisit menyebutkan adanya 'departemen yang bertanggung jawab di bidang media massa' (Pasal 16 ayat 3). Bertanggung jawab itu bisa berarti mengatur, menegur, menghukum, dan akhirnya memberedel. Terbayanglah Departemen Penerangan terutama zaman Menteri Harmoko berkuasa.

read more on MIOL

Friday, February 22, 2008

Editorial Media Indonesia - 22022008

TINGKAT keadaban dan peradaban sebuah bangsa bisa diukur dari kemampuan negara memenuhi basic needs warganya. Semakin banyak basic needs warganya yang dipenuhi negara kian beradablah bangsa itu.

Bagi negara yang tergolong beradab, basic needs seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan tidak lagi menjadi persoalan. Bahkan, pengangguran pun dijamin negara. Tidak ada warga negara yang mati karena kelaparan atau mati kedinginan lantaran tak memiliki pakaian. Itu sebabnya, mereka dijuluki sebagai welfare state.

Negara ini mestinya juga berkeinginan bisa menjadi welfare state. Cuma Republik ini masih miskin filosofi, strategi, hingga implementasi dalam memenuhi basic needs warganya.

Pelayanan kesehatan, misalnya, bisa menjadi cermin betapa negara masih gagap dalam memenuhi salah satu unsur dari basic needs. Padahal, pemerintah selalu menyebutkan kesehatan, dan juga pendidikan, sebagai bidang yang masuk kategori prioritas utama dalam pembangunan.

Namun, dalam praktiknya tidak demikian. Anggaran yang dikucurkan kepada kedua bidang itu masih tergolong kurang memadai. Amanat konstitusi yang mewajibkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN hingga kini juga belum terpenuhi. Sejatinya alokasi anggaran kesehatan juga sebesar itu, kalau bangsa ini tak mau selamanya menjadi bangsa yang rapuh.

read more on MIOL

Thursday, February 21, 2008

Utamakan Manusia Korban Lapindo - Editorial Media Indonesia

KURANG dua bulan, masalah Lapindo berusia dua tahun. Selama kurun itu, belum ada yang beres tuntas. Semburan lumpur yang berasal dari wilayah pengeboran PT Lapindo Brantas belum bisa dimatikan. Wilayah yang digenangi lumpur meluas dari waktu ke waktu. Tidak kurang dari 11 ribu kepala keluarga dari delapan desa harus kehilangan rumah dan harta benda. Ganti rugi pun belum tuntas.

Sedari awal malapetaka Lapindo seperti dibiarkan berada pada wilayah abu-abu. Terutama menyangkut pertanyaan siapa dan apa yang menjadi penyebab semburan lumpur liar itu. Pemerintah cenderung mengarahkan tanggung jawab kepada PT Lapindo Brantas, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki keluarga Aburizal Bakrie, pengusaha yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang.

Sementara itu, pihak Lapindo sendiri memikul tanggung jawab tersebut di tengah pertanyaan tentang keadilan yang terus menggoda. Apakah betul semburan lumpur itu berasal dari dan disebabkan oleh pengeboran yang dilakukan perusahaan tersebut? Pertanyaan itu menggoda karena fakta menunjukkan lumpur menyembur pada titik yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi pengeboran.

Pada titik itu sesungguhnya yang bertempur adalah logika hukum serta segala konsekuensinya dan logika kemanusiaan serta segala komplikasinya. Lapindo dan pemerintah secara faktual sebenarnya terlibat dalam komplikasi itu walaupun pertanyaan tentang penyebab semburan tetap menggantung.

read more on MIOL

Tuesday, February 19, 2008

“Mom, Dad, I’m Home!”

"Mom, Dad, I'm home." Begitulah kira2 kata2 yang kuucapkan begitu kakiku melangkahkan kaki memasuki pintu tua rumahku. Rumah yang ketentramannya sangat kurindukan dengan segala kasih sayang dan belai mesra serta peluk hangat dari kedua orang tuaku. Rumah dimana menjadi tempat tumbuhnya diriku dan belajar.

Betapa bahagianya diriku saat memasuki rumah dan bertemu dengan Mak-ku. Mak, begitulah aku menyebut orang yang telah mengandung dan melahirkan diriku. Aku langsung mencium tangan lembutnya dan memeluknya. Oh, ya Allah... hatiku tergetar saat memeluknya. Aku merasakan kembali kasih sayangnya yang telah lama tak kurasakan. Aku menemukan kembali hangat pelukannya yang telah lama tak bisa kudapatkan. Terima kasih, ya Allah...

Seingatku, aku pulang ke rumah terakhir kali saat Idul Fitri. Dan bulan Desember tahun lalu aku pengen banget pulang ke rumah. Namun, mengingat banyak hal yang harus dikerjakan sehingga aku harus menahan kerinduanku untuk bertemu Mak dan Bapakku. Keinginan itu bertambah kuat manakala aku mengikuti ESQ In House Training Beswan Djarum. Aku semakin pengen pulang... ya Allah... berikan aku kesempatan untuk bisa memeluk dan merasakan kasih sayang mereka... memang Allah tidak pernah melupakan hambanya. Aku diberikan kesempatan untuk pulang dan mencium tangan serta memeluk kedua orang yang telah memelihara dan membesarkan diriku dengan penuh kasih sayang. Aku tiba di rumah dan bertemu mereka berdua hari Jum'at, tanggal 8 Februari 2008 malam pukul 19.57 WIB. Tanggal 11 Februari 2008 aku sudah harus kembali untuk melanjutkan aktifitasku. Yah... aku memang hanya dua hari di rumah, namun itu sudah cukup membuatku bergembira dan seneng banget. Alhamdulillah... Terima kasih, ya Allah...

Oya, aku adalah seorang putra RONGGOLAWE. Tepatnya berasal dari sebuah dusun kecil bernama JOMBOK yang termasuk dalam wilayah desa SEMBUNGIN kecamatan BANCAR di kabupaten TUBAN tentunya. Hehe. Aku sempat khawatir saat mendengar kabar Tuban dilanda banjir. Gelisah, risau dan gundah karena memang aku tidak bisa menghubungi keluargaku. Namun, aku yakin keluargaku baik2 saja karena aku tahu posisi dan struktur tanah desaku. Aku yakin, kalau desaku tidak terkan banjir dan aku bersyukur tatkala aku sampai di rumah semuanya baik2 saja... terima kasih ya Allah atas penjagaanMu kepada keluargaku. Alhamdulillah...

Saturday, February 16, 2008

Menolak Pemekaran - Editorial MIOL

ARUS pemekaran wilayah mulai berbalik. Kalau selama ini hasrat untuk memekarkan wilayah seperti air bah yang tak bisa dibendung, setapak demi setapak kini kesadaran bahwa pemekaran justru menambah sakit tubuh wilayah mulai tumbuh.

Itulah yang terjadi Rabu (13/2) lalu, ketika sejumlah perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua Barat menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mereka menolak usul pemekaran Provinsi Papua Barat sebagaimana yang termaktub dalam 21 draf rancangan undang-undang (RUU) tentang pembentukan delapan provinsi dan 13 kabupaten yang diloloskan DPR menjadi RUU inisiatif dewan.

Dasar penolakan mereka sangat jelas. Yakni, jumlah penduduk Papua Barat yang hanya 2,3 juta jiwa tidak cukup untuk pemekaran. Selain itu, usia provinsi tersebut yang belum mencapai 10 tahun merupakan waktu yang prematur untuk dinilai kinerjanya dalam menyejahterakan rakyat.

Bagi Papua, pemekaran hanya akan menambah beban keuangan daerah. Sebab dana otonomi khusus Papua akan habis untuk anggaran aparatur birokrasi. Saat ini saja alokasi terbesar anggaran Papua diperuntukkan bagi biaya birokrasi, yakni 60%. Adapun untuk fasilitas publik dan urusan yang terkait dengan hajat hidup rakyat masing-masing hanya 20%.

Jika dimekarkan, anggaran birokrasi tentu semakin membengkak. Belum lagi peluang terjadinya penyelewengan anggaran proyek yang juga makin besar.

read more on MIOL

Malapetaka Interpelasi - Editorial MIOL

LAGI-LAGI interpelasi dipentaskan Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Sebagaimana beberapa interpelasi sebelumnya, pentas itu lebih mempertontonkan dagelan daripada substansi. Dagelan interupsi dan dagelan walk-out. Substansi dibiarkan mengambang agar menjadi alasan untuk interpelasi lanjutan.

Bantuan likuiditas Bank Indonesia, kebijakan yang diambil pemerintah 10 tahun lalu untuk menyelamatkan bank-bank dari kehancuran akibat hantaman krisis waktu itu, tiba-tiba disepakati menjadi agenda interpelasi di akhir masa sidang tahun 2007 tanpa banyak keberatan dari fraksi-fraksi.

Dalam sidang interpelasi kemarin, DPR lebih sibuk mempermasalahkan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono daripada menjawab persoalan paling krusial, yaitu bagaimana dengan keputusan-keputusan pemerintah sebelumnya tentang penyelesaian BLBI yang hingga kini masih berlaku dan sah.

Dengan mempersoalkan terus-menerus ketidakhadiran Presiden dalam sidang interpelasi, DPR telah melakukan pembodohan terhadap masyarakat. Karena sangat jelas dalam aturan bahwa Presiden bisa mewakilkan kepada menteri untuk menjawab interpelasi di DPR. Kalau terus mempersoalkan perkara yang sudah terang benderang aturannya, patut dipertanyakan kesungguhan dan kapasitas belajar para anggota dewan terhormat itu.

Kekonyolan tidaklah terbatas pada keasyikan DPR membelenggu dirinya pada pembodohan. Tetapi lebih dari itu, DPR ikut menenggelamkan bangsa dan negara dalam kekelaman yang amat fundamental.

Pertama, dengan mempersoalkan BLBI, DPR sesungguhnya tidak berupaya menegakkan hukum, tetapi menjalankan destruksi. Bahaya terbesar bagi bangsa ini ke depan adalah pengingkaran terhadap legalitas kebijakan masa lalu. Pemerintahan masa kini bersama DPR masa kini mengeliminasi keputusan pemerintahan sebelumnya. Dengan demikian, tidak ada permasalahan yang selesai di Republik ini. Itu ketololan yang amat menyedihkan.

read mor on MIOL

Sunday, February 3, 2008

Belum Bisa Posting

Hidup itu memang terus berjalan. kadang sepi sekali seperti tak punya sesuatu untuk dibicarakan dan dilakukan, dan kadang sebaliknya, banyak hal yang harus dikerjakan.
saat ini aku mengalami masa pilihan kedua, yakni banyak hal yang harus dikerjakan dan ada beberapa hal yang harus ditinggalkan untuk menyelesaikannya.
termasuk salah satu yang harus ditinggalkna dulu adalah posting di blog dan mengunjungi kawan2 sejawat (welehhhh....)...

maafkan aku kawan2, karena aku belum bisa posting karena ada banyak hal yang harus dikerjakan dan ada beberapa hal yang harus ditinggalkan sementara untuk menyelesaikan tugas yang harus dikerjakan. terima kasih atas kunjungannya dan mohon maaf karena belum bisa berkunjung balik. ini ku tulis dengan terburu-buru, jadi maaf juga kalau susunan kata-katanya berantakan dan kacau... hehehehe... :D